Sekretariat DPC PPCI Kota Pontianak : Jl. Komyos Soedarso Gg. Rambutan 2 No. 56 Kel. Sui Beliung, Kec. Pontianak Barat 78113 Hp. 0812 571 7684 / 0858 2222 7515 email : dpcppci_kotapontianak@yahoo.co.id

Jumat, 19 Maret 2010

Pokok Pemikiran Dalam Peningkatan SDM dan Kualitas Penyandang Cacat di Kota Pontianak


By : EKO SUMARSONO

Jabatan Sekretaris DPC PPCI Kota Pontianak

Bangsa Indonesia sangat mengagumi kebersamaan dan keselarasan dalam bertindak untuk menjadi komponen bangsa. Oleh karenanya semboyan Negara Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetap satu jua membawa Negara ini mutlak menjadi Negara yang berhasil menyatukan perbedaan khas sebagai suku bangsa, bahasa dan berdiam diri.
Namun yang perlu di ingat bahwa, keaneka ragaman suku bangsa tersebut  terdapat sekelompok kecil masyarakat Indonesia yang sering luput dari pengamatan kita. Namun akhir-akhir ini media elektronik gencar mempublikasikan kaum arus bawah ini ke permukaan untuk dapat menyamakan keberadaannya di bumi pertiwi.
Kelompok masyarakat tersebut yakni sekelompok penyandang cacat dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam kaitan ini kami menuangkan pengamatan dari kelompok penyandang cacat yang belum atau masih di mungkinkan mendapatkan perhatian khusus kelak di kemudian hari. Terutama pada penyandang cacat yang masih bersebaran atau bagi para penyandang cacat yang memang belum merasakan secara jelas manfaat dari keterlibatan organisasi atau pun dalam hal masih belum tersalurkan aspirasi serta bantuan dana yang dapat menunjang kehidupan mereka.
UU No 4 tahun 1997 Tentang Perlindungan Penyandang Cacat adalah bukti keterlibatan pemerintah dalam upaya penanggulangan masalah yang di hadapi kaum ini. Begitu juga berbagai bentuk yayasan dan organisasi legal seperti PPCI telah hadir dan siap menyerap aspirasi serta menjadi mitra advokasi dalam upaya menumbuh kembangkan kualitas serta kepercayaan penyandang cacat itu sendiri di bawah naungan pemerintah.
Kita menyadari saat ini bertubi-tubi bangsa ini di coba dengan setiap permasalahan, dan acap kali pula hal ini menambah buruk pula keadaan para penyandang cacat yang rata-rata berada di bawah garis kemiskinan hal ini tentunya dapat mencitrakan negatif bagi tempat yang di diami si penyandang cacat tersebut pemerintah seolah gagal dalam menerapkan sejumlah perundangan dan pelayanan public bagi golongan ini, bagi sebuah organisasi penyandang cacat dapat di katakan tidak mampu sebagai advokasi dan serap aspirasi penyandang cacat, sedangkan swasta lebih menderita menjadi momok yang di kenal tidak peduli, jedit, kedekut, dalam memberikan peluang kerja bagi penyandang cacat.
Akankah hal ini senantiasa kita biarkan dan menjadi opini tak sedap, padahal tidak semua demikian benar adanya. Beberapa diantara penyandang cacat pernah mendapatkan bantuan dan mitra binaan, baik pada lembaga pemerintah maupun swasta. Inlah yang perlu kita waspadai, bahwa “Setitik Nila merusakkan Susu Sebelanga” artinya jika ada diantara penyandang cacat tersebut tidak sempat termonitor maka sejumlah niat baik yang telah di lakukan menjadi lahan sorotan dalam publikasi.
Kecurigaan ini yang harus kita luruskan, salah satunya adalah benar-benar melaksanakan amanat sebagaimana di gariskan, terus melakukan konsolidasi dan monitoring dalam upaya pengentasan kemiskinan yang di alami oleh penyandang cacat, karena menurut hemat kami ini adalah bagian kecil dari bencana. Bencana yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka atas ketidakpuasan, hal ini akan lebih mirip bola salju.
Oleh karena itu upaya DPC PPCI Kota Pontianak pada program kerja terus bekerja sama dengan Instansi Pemerintah terkait dalam hal pendataan, pengelompokan kecacatan dan mendistribusikan informasi kecacatan yang di sandang para penyandang cacat bagi lembaga khusus kecacatan yang menangani, serta memberikan usulan bagi pengembangan SDM Penyandang Cacat yang siap di bina Mental dan Spiritual, sebagai motorik dalam upaya pengentasan kemiskinan penyandang cacat.
“Bentuk pembangunan spiritual meliputi kegiatan keagamaan bagi masing-masing pemeluk agama para penyandang cacat, dan untuk pembangunan mental kami mengarahkan pada bentuk-bentuk pelatihan kerja yang inovatif, contoh kecil adalah pengolahan Limbah Industri Rumah Tangga., dan lain-lain”. Jelas Bapak Zamhari Abdul Hakim di suatu pertemuan keakraban.
Dan Dewan Pengurus Cabang Persatuan Penyandang Cacat Indonesia Kota Pontianak, sangat yakin jika mereka mampu mengembangkan dan mampu pula mendistribusikan contoh hasil kerajinan atau semacam home industri lainnya secara bersama-sama DPC PPCI, pemerintah dan swasta, bukan tidak mungkin ini akan menggerus predikat pengangguran terutama bagi penyandang cacat.
Pola pemikiran inovatif dan gigih dalam hal memperjuangkan cita-cita luhur ini sangat di perlukan oleh pengurus dan inilah yang terus di kembangkan dan tinggal selangkah lagi di wujudkan. Karena team inti dari Pengurus DPC PPCI Kota Pontianak telah berupaya keras menuangkan program-program dan kerangka pemikiran bagi kesejahteraan bersama.
Kunci keberhasilan hanya pada kekompakan, pembinaan dan upaya pengawasan serta pelaporan kegiatan jangka pendek, menengah dan panjang menitik beratkan kegiatan yang di lakukan pada priode kerja sehingga sejauh mana para kader yang didik tadi dapat meneruskan ilmu kepada penyandang cacat lainnya dan menjadikan peluang bisnis bagi kesejahteraan bersama dan bukan untuk kepentingan Individu Atas Nama Kelompok dapat di monitoring pihak-pihak.

Kamis, 18 Maret 2010

Makna dan Philosophy Cover Blog DPC PPCI Kota Pontianak

Untuk menyamakan persepsi antar penyandang cacat Kota Pontianak, bahwa blog ini merupakan bentuk penyerapan aspirasi secara umum, sebab kami menyadari bahwa penyandang cacat tentunya memiliki nilai emosional yang sensitif, dan peka terhadapnya untuk itu kami perlu menekankan bahwa gambar cover di atas bukan semata-mata untuk mewakili bagi Penyandang Cacat kehilangan fungsi anggota tubuh ( Tuna Dhaksa ) saja.
Namun sesungguhnya lebih di orientasikan kepada seluruh Penyandang Cacat berikut penjelasan kami :
1. Gambar di edit guna keperluan sosial DPC PPCI Kota Pontianak.
2. Jembatan Tol Kapuas,
Adalah jembatan kebangaan yang telah hadir di kota Pontianak ( Jembatan Tol Kapuas I oleh Presiden Soeharto, 28 Februari 1982 silam ). Merupakan penghubung urat nadi arus kegiatan ekonomi, social, budaya, politik dan sebagainya. Demikianlah kami menempatkan bagian gambar tersebut pada cover DPC PPCI Kota Pontianak yang berada di suatu senja ( sunset ) Jembatan Kapuas I masih terus membentang dan siap menyeberangkan semilyar keinginan penyandang cacat masyarakat di Kota Pontianak hingga sampai ke sisi seberang kota penyatuan visi dan misi. Suasana senja menampilkan gambaran tanda pergantian waktu antara malam dan siang, menggambarkan keadaan sesungguhnya tentang penyandang cacat, merupakan proses evaluasi dan koreksi yang telah di perbuat hari ini. Apakah esok hari nasib menjadi terang benderang ataukah menjadi kelam ketika malam berkehendak. Ataukah menjadi obsesi teman dalam balutan mimpi, ketika malam semakin marak menjelang. Sementara sinar lampu di bawah jembatan kuning keemasan menampilkan Pondasi Semangat Untuk Maju bagi Penyandang Cacat Kota Pontianak tidak akan pernah padam, di bawah naungan DPC PPCI Kota Pontianak. yang merupakan mitra pemerintah kota dan swasta yang terus berupaya memperhatikan peningkatan SDM penyandang cacat agar lebih cerah lagi.
3. Tugu Khatulistiwa
Tugu Khatulistiwa ini siapa yang tidak mengetahui keberadaannya, hingga di ujung dunia sekalipun orang akan mengenal bahwa ini merupakan monumental gambaran Lintasan Titik Nol yang membelah bumi menjadi atas dua bagian Utara dan Selatan. Dengan gambaran ini berarti bahwa DPC PPCI Kota Pontianak senantiasa menjadi pengayom, sekaligus pendamping serta tidak memihak antar kubu penyandang cacat, dan tetap pada garis lurus 0 ( nol derajat ) dalam melaksanakan tugas sebagaimana di gariskan AD / RT. Awan biru nan cerah menampilkan keinginan penyandang cacat Kota Pontianak berupaya meraih mimpi-mimpi dan segera mewujudkan keinginan tersebut. Tugu replica Khatulistiwa, merupakan sosok gambaran umum penyandang cacat di Kota Pontianak, meskipun di bawah tekanan terik matahari pada titik nol kulminasi masih tetap tegak berdiri dan bersemangat, karena Hidup Ini Cuma Sekali, dan Harus Mempunyai Arti.
4. Penyandang Cacat Dalam Siluet di Bantu oleh Perawat Wanita
Perlambang bahwa penyandang cacat tersebut bisa jadi adalah Tuna Dhaksa yang juga Tuna Rungu dan Tuna Netra dan Tuna Grahita dan sebagainya, sementara DPC PPCI Kota Pontianak di lambangkan seorang perawat muda berhati keibuan yang siap menyambung aspirasi penyandang cacat di Kota Pontianak, yang berkabut biru menandakan welas asih dan wujud kepedulian, cita-cita luhur DPC PPCI Kota Pontianak di tengah perjalanan menuju inovasi...dan pantang menyerah walau kendala merintangi.
5. Sungai Kapuas
Sungai Kapuas abadi pemberi sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar Kota Pontianak, bahkan dunia sebagai jalur transportasi dan lainya. Seperti itulah seharusnya potensi penyandang cacat, untuk dapat berkiprah dalam kehidupan nyata.
Demikianlah makna dan philosophy dari cover dalam blog ini, kami ucapkan terima kasih kepada sidang pembaca. Kepedulian anda, begitu melegakan kami...

Kamis, 11 Maret 2010

Sekapur Sirih Blog DPC PPCI Kota Pontianak






Syukur Alhamdulillah kami panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmah serta hidayah-Nya kepada kita semua khusus bagi para Penyandang Cacat baik yang telah bergabung di bawah payung Persatuan Penyandang Cacat Indonesia (PPCI) pusat, daerah dan cabang di seluruh Indonesia maupun yang belum atau baru saja akan bergabung bersama kami.


Dengan terbitnya blog resmi Dewan Pengurus Cabang (DPC PPCI) Kota Pontianak kali ini, semoga menjadi salah satu bagian dari blog penyandang cacat yang ikut mengairahkan tujuan dan upaya bagi aktipitas, rutinitas, serta mempermudah sajian kegiatan yang akan menjadi agenda jangka pendek dan jangka panjang kami selama dalam kepengurusan. Dan berlangsung rutin untuk menunjukkan existensi dan keberadaan kami di wilayah kerja Kota Pontianak Kalimantan Barat. Dalam memperjuangkan Peningkatan SDM Bagi Para Penyandang Cacat.


Semoga kehadiran blog ini merupakan jalur pembuka akses yang lebih besar lagi dalam menjaring rekan-rekan senasib, yang secara notta benne membutuhkan perhatian dan keseriusan dalam memecahkan masalah dalam kegiatan hidup sehari-hari. Atas persamaan nasib, keterbatasan, serta kemampuan dalam kehidupan. Dan saling memotivasi, sarana penunjang publikasi, silaturahmi, serta kekompakan dalam rangka menjaring kepedulian dan keberpihakan para pihak terhadap penyandang cacat selama ini dan masa yang akan datang.


Dan yang mungkin akan menarik adalah transparasi kegiatan, alokasi bidang yang telah di atur dalam pendanaan serta kebijakan akan lebih mudah di pantau oleh para pihak pendonor, Lembaga Pemerintah dan Swasta, tak terkecuali pendonor dari negara mana pun yang bersedia, untuk kepentingan serta kemaslahatan para anggota dalam wadah DPC PPCI Kota Pontianak.
Sehingga pola kegiatan, hingga arus masuk keluar alokasi dana dapat di gunakan hanya untuk kepentingan DPC PPCI Kota Pontianak dalam rangka Meningkatkan SDM dan Menanggalkan Kesan Hanya Mampu Menerima tanpa Mampu Berbuat Banyak.


Kami sangat membutuhkan dukungan penuh dari berbagai pihak untuk dapat segera mewujudkan impian kami menjadi tempat binaan bagi rekan-rekan senasib yang selama ini masih di rasa perlu untuk mendapatkan perhatian. Terutama pemberian pelatihan dan keterampilan, sebagai bekal untuk dapat bertahan hidup serta beradaptasi lebih baik lagi di masyarakat. Sebagai mana mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 1997.


Dunia teknologi semakin pesat di tandai semakin mudah pula orang mengakses internet dari sekedar di warung-warung dengan menggunakan link hot spoot, atau sekedar berselancar dari handphone, warnet dan itu semua di tandai pula menjamurnya operator jasa penyedia layanan internet.


Dengan pemanfaatan teknologi itu pula sebagaimana pendahulu kami yang telah lebih dahulu menerbitkan media publikasi seperti ini bahkan organisasi penyandang cacat dunia internasional sekalipun, maka DPC PPCI Kota Pontianak di bawah naungan DPD PPCI Propinsi Kalimantan Barat dan PPCI Pusat. Berupaya semaksimal mungkin menjadi mitra Pembangunan. Dan mencoba melangkah dari pola kemitraan ini, serta memohon doa restu bagi kami dari sidang pembaca sekalian.

Dengan pola sebagai mitra dan menjembatani masukan, saran, serta keluhan para penyandang cacat atas kebijakan yang telah di tempuh. Informasi berkaitan kegiatan DPC PPCI Kota Pontianak dapat di baca oleh semua kalangan. Selain daripada itu, kami berharap agar blog ini benar-benar bermanfaat dan merupakan senjata ampuh yang ambil bagian dalam menyemarakkan ruang bisnis, terutama pendistribusian hasil kekaryaan produksi usaha kami yang telah di jalankan dalam upaya peningkatan taraf kehidupan yang lebih baik, paling tidak dapat ikut serta dalam arus perdagangan bebas yang telah di gaungkan dan kami bersyukur sekali jika itu dapat di pertimbangkan masyarakat luas.


Upaya lain adalah sebagai media pembelajaran para penyandang cacat khususnya penyandang cacat di lingkungan kota Pontianak, agar dapat ikut merasakan betapa banyak manfaat yang kita ambil dari dunia internet dan kami mewajibkannya, ini adalah salah satu bentuk upaya kepedulian kami.

Kami berharap pula kesulitan berkomunikasi antar penyandang cacat dalam hal penyampaian informasi kegiatan dan kepentingan lain dapat di atasi dengan media ini, karena dapat di akses di manapun sepanjang tersedia jaringan internet. Semakin canggih dan murah.
Akan sangat baik lagi bila di suatu kesempatan terbit bulletin khusus setiap bulannya demi kelancaran kegiatan yang bersifat offline. Merupakan ide kami dalam membuat blog ini, agar Satu Visi dan Misi, Menuju SDM Penyandang Cacat yang Berdaya Guna di Masyarakat.


Bukan suatu hal yang tidak mungkin, kami akan bersama-sama memerangi tingkat pengangguran di kalangan para penyandang cacat, suatu sebab faktor keberuntungan dan kepercayaan publik terhadap kami masih lemah dan menjadi pertimbangan-pertimbangan kita.


Besar harapan kami agar bapak, ibu, saudara, saudari yang telah berkenan mengunjungi situs resmi ini sudi menyampaikan salam dan maksud kami kepada rekan-rekan senasib.

Dan kabarilah kepada kami dengan mengirim data-data entri rekan kami tersebut agar kelak di kemudian hari dapat bergabung bersama sebagai ajang silaturahmi dan tempat binaan praktis, serta advokasi dalam persamaan sebagai bagian dari komponen bangsa.

Alokasi Blog PPCI Kota Pontianak


Blog 1







Blog 2

Penyandang Cacat Dapat Bantuan

SLEMAN-Menolong dan membantu penyandang cacat bukan merupakan konsep sedekah, melainkan upaya pemerintah untuk memberdayakan penyandang cacat supaya dapat bekerja secara terhormat dan mandiri. Paling tidak agar mereka bisa berguna bagi keluarga dan tidak tergantung pada orang lain.

Wakil Bupati Sleman Drs H Sri Purnomo MSi mengatakan hal itu pada acara penyerahan bantuan jaminan sosial bagi penyandang cacat berat.

Pada acara di aula Nakersos KB, baru-baru ini, dia mengatakan, dengan jaminan sosial itu diharapkan para penerima tidak saja mampu mendiri secara pribadi, tetapi juga mampu menciptakan lapangan usaha baru bagi orang lain.

‘’Karena demi kasih sayang dan amanah, maka bantuan yang diterima hendaknya betul-betul diwujudkan secara nyata,’’ ujar Sri Purnomo melalui sambutan yang dibacakan Kepala Dinas Nakersos KB, Drs Kriswanto MSc.

Karena itu, Wakil Bupati Sleman mengajak masyarakat Sleman, khususnya pihak-pihak yang memiliki kemampuan, untuk terus meningkatkan kepedulian dan bantuan kepada para penyandang cacat.

Dengan demikian, dapat mendukung upaya Pemkab Sleman dalam mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan. Katanya, kalau bisa digunakan untuk usaha ekonomi produktif, seperti untuk membeli kambing.

Sri Purnomo berharap, fasilitas bagi penyandang cacat di tempat-tempat umum seperti bandara, terminal, areal perkantoran, harus ditingkatkan.

Sebab, mereka juga sebagaimana manusia normal lain, berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, serta kemampuan.

Dalam memberdayakan para penyandang cacat, Pemkab Sleman lebih berorientasi pada pemberian aset. Bukan pada aktivitas bagi-bagi uang.

Pemberian aset diwujudkan dengan pemberian bekal pelatihan, bantuan modal usaha setelah pelatihan keterampilan, bantuan beasiswa bagi penyandang cacat berprestasi, di luar program jaminan sosial serta bantuan kebutuhan dasar Pemerintah Pusat. (P58-66)

Copy Paste dari : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/01/04/93575/Penyandang-Cacat-Dapat-Bantuan

Rabu, 10 Maret 2010

TUNA RUNGU


Tunarungu adalah satu gejala dimana seseorang kehilangan seluruh atau sebagian daya pendengarannya sehingga tidak atau kurang mampu berkomunikasi secara verbal.

Apa ciri-ciri seseorang mengalam gangguan pendengaran atau tunarungu?

1. Secara nyata tidak mampu mendengar.
2. Terlambat perkembangan bahasa.
3. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi.
4. Kurang/tidak tanggap bila diajak berbicara.
5. Ucapan kata tidak jelas.
6. Kualitas suara aneh/monoton.
7. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar.
8. Banyak perhatian terhadap getaran.
9. Keluar cairan ‘nanah’ dari kedua telinga.

Penyebab seseorang menjadi tunarungu

Rubella (yang oleh masyarakat umum dikenal dengan nama campak) sering dipandang sebagai penyakit ringan. Orang dewasa maupun anak-anak biasanya tidak akan dibahayakan secara permanen oleh penyakit ini, tetapi bayi yang masih dalam kandungan dapat sangat terpengaruh. Jika seorang ibu yang sedang mengandung mengidap penyakit ini pada masa tiga bulan pertama kkehamilannya, dia sendiri mungkin tidak akan merasa sakit sama sekali, tetapi penyakit tersebut dapat berdampak kepada bayi di dalam kandungannya melalui placenta, dengan akibat yang serius. Banyak di antara bayi-bayi itu lahir tunagrahita, dan mereka juga dapat mengalami kecacatan fisik. Penyakit jantung, kesulitan pernafasan, gangguan penglihatan atau gangguan pendengaran sering dialami oleh bayi-bayi ini (Finkelstein, 1994). Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan seyogyanya dilakukan untuk mengurangi ancaman terha­dap janin. Anak­-anak--terutama pe­rempuan--sebaiknya divaksi­nasi agar mereka mengembangkan daya tahan terhadap rubella di kemudian hari. Wanita yang sedang hamil muda harus mengh­indari kontak dengan orang yang sedang terkena penyakit ini.Deteksi Dini KetunarunguanEasterbrooks (1997) mengemukakan tanda-tanda ketunarunguan sebagai berikut. Pada bayi atau anak kecil, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tidak adanya perhatian atau adanya perhatian yang tidak konsisten, tidak adanya atau kurangnya interaksi vokal, dan tidak adanya atau sangat lambatnya perkembangan bahasa, terutama yang terkait dengan kata-kata yang diakhiri konsonan tak letup seperti t, ‑ng, atau ‑s. Pada anak-anak usia sekolah, tanda-tanda ketunarunguan itu mencakup tingginya tingkat frustrasi terhadap sekolah dan orang lain, rendahnya atau sangat menurunnya nilai-nilai pelajarannya, atau berubahnya pola perhatiannya. Pada orang dewasa, tanda-tanda tersebut dapat berupa keluhan bahwa orang lain bergumam padahal berbicara normal, atau menyalakan peralatan seperti radio atau TV terlalu keras. Klasifikasi dan Jenis Ketunarunguan
1. Jenis Ketunarunguan berdasarkan lokasi gangguannyaEasterbrooks (1997) mengemukakan bahwa terdapat tiga jenis utama ketunarunguan menurut lokasi ganguannya:
1) Conductive loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga yang menghambat dihantarkannya gelombang bunyi ke bagian dalam telinga.
2) Sensorineural loss, yaitu ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau syaraf auditer yang mengakibatkan terhambatnya pengiriman pesan bunyi ke otak. (Ketunarunguan Andi tampaknya termasuk ke dalam kategori ini.)
3) Central auditory processing disorder, yaitu gangguan pada sistem syaraf pusat proses auditer yang mengakibatkan individu mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya meskipun tidak ada gangguan yang spesifik pada telinganya itu sendiri. Anak yang mengalami gangguan pusat pemerosesan auditer ini mungkin memiliki pendengaran yang normal bila diukur dengan audiometer, tetapi mereka sering mengalami kesulitan memahami apa yang didengarnya.
2. Jenis Ketunarunguan berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi.Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengar bunyi, Ashman dan Elkins (1994) mengklasifikasikan ketunarunguan ke dalam empat kategori, yaitu:
1) Ketunarunguan ringan (mild hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB (desibel). Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
2) Ketunarunguan sedang (moderate hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid).
3) Ketunarunguan berat (severe hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 65-95 dB. Mereka sedikit memahami percakapan pembicara bila memperhatikan wajah pembicara dengan suara keras, tetapi percakapan normal praktis tidak mungkin dilakukannya, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar.
4) Ketunarunguan berat sekali (profound hearing impairment), yaitu kondisi di mana orang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Sejauh tertentu, ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (superpower). Survey tahun 1981 di Australia menemukan bahwa 59% dari populasi tunarungu menyandang ketunarunguan ringan, 11% sedang, 20% berat, dan 10% tidak dapat dipastikan (Cameron, 1982, dalam Ashman dan Elkins, 1994). Perlu dijelaskan bahwa decibel (disingkat dB) adalah satuan ukuran intensitas bunyi. Istilah ini diambil dari nama pencipta telepon, Graham Bel, yang istrinya tunarungu, dan dia tertarik pada bidang ketunarunguan dan pendidikan bagi tunarungu. Satu decibel adalah 0,1 Bel.Bagi para fisikawan, decibel merupakan ukuran tekanan bunyi, yaitu tekanan yang didesakkan oleh suatu gelombang bunyi yang melintasi udara. Dalam fisika, 0 db sama dengan tingkat tekanan yang mengakibatkan gerakan molekul udara dalam keadaan udara diam, yang hanya dapat terdeteksi dengan menggunakan instrumen fisika, dan tidak akan terdengar oleh telinga manusia. Oleh karena itu, di dalam audiologi ditetapkan tingkat 0 yang berbeda, yang disebut 0 dB klinis atau 0 audiometrik. Nol inilah yang tertera dalam audiogram, yang merupakan grafik tingkat ketunarunguan. Nol audiometrik adalah tingkat intensitas bunyi terendah yang dapat terdeteksi oleh telinga orang rata-rata dengan telinga yang sehat pada frekuensi 1000 Hz (Ashman & Elkins, 1994). Metode dan Pendekatan Pengajaran Bahasa bagi Anak TunarunguPerdebatan tentang cara terbaik untuk mengajar anak tunarungu berkomunikasi telah marak sejak awal abad ke-16 (Winefield, 1987). Perdebatan ini masih berlangsung, tetapi kini semakin banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak ada satu sistem komunikasi yang baik untuk semua anak (Easterbrooks, 1997). Pilihan sistem komunikasi harus ditetapkan atas dasar individual, dengan mempertimbangkan karakteristik anak, sumber-sumber yang tersedia, dan komitmen keluarga anak terhadap metode komunikasi tertentu.Metode Pengajaran Bahasa bagi Anak TunarunguTerdapat tiga metode utama individu tunarungu belajar bahasa, yaitu dengan membaca ujaran, melalui pendengaran, dan dengan komunikasi manual, atau dengan kombinasi ketiga cara tersebut. 1) Belajar Bahasa Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)Orang dapat memahami pembicaraan orang lain dengan "membaca" ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50% lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang "tersembunyi" itu. Jadi, orang tunarungu yang bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini (Ashman & Elkins, 1994). Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran). Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk melengkapi membaca ujaran (speechreading).Delapan bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal. Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). Cued Speech dikembangkan oleh R. Orin Cornett, Ph.D. di Gallaudet University pada tahun 1965‑66. Isyarat ini dikembangkan sebagai respon terhadap laporan penelitian pemerintah federal AS yang tidak puas dengan tingkat melek huruf di kalangan tunarungu lulusan sekolah menengah. Tujuan dari pengembangan komunikasi isyarat ini adalah untuk meningkatkan perkembangan bahasa anak tunarungu dan memberi mereka fondasi untuk keterampilan membaca dan menulis dengan bahasa yang baik dan benar. Cued Speech telah diadaptasikan ke sekitar 60 bahasa dan dialek. Keuntungan dari sistem isyarat ini adalah mudah dipelajari (hanya dalam waktu 18 jam), dapat dipergunakan untuk mengisyaratkan segala macam kata (termasuk kata-kata prokem) maupun bunyi-bunyi non-bahasa. Anak tunarungu yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu membaca dan menulis setara dengan teman-teman sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam Caldwell, 1997). 2) Belajar Bahasa Melalui PendengaranAshman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa individu tunarungu dari semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu komponen eksternal (mikropon dan speech processor) yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal (rangkaian elektroda yang melalui pembedahan dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran) di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan internal tersebut dihubungkan secara elektrik. Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton, 1997). Akan tetapi, meskipun dalam lingkungan auditer terbaik, jumlah bunyi ujaran yang dapat dikenali secara cukup baik oleh orang dengan klasifikasi ketunarunguan berat untuk memungkinkannya memperoleh gambaran yang lengkap tentang struktur sintaksis dan fonologi bahasa itu terbatas. Tetapi ini tidak berarti bahwa penyandang ketunarunguan yang berat sekali tidak dapat memperoleh manfaat dari bunyi yang diamplifikasi dengan alat bantu dengar. Yang menjadi masalah besar dalam hal ini adalah bahwa individu tunarungu jarang dapat mendengarkan bunyi ujaran dalam kondisi optimal. Faktor-faktor tersebut mengakibatkan individu tunarungu tidak dapat memperoleh manfaat yang maksimal dari alat bantu dengar yang dipergunakannya. Di samping itu, banyak penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alat bantu dengar yang dipergunakan individu tunarungu itu tidak berfungsi dengan baik akibat kehabisan batrai dan earmould yang tidak cocok. 3) Belajar Bahasa secara ManualSecara alami, individu tunarungu cenderung mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat yang eksklusif.Pendekatan dalam Pengajaran Bahasa bagi Anak TunarunguPengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan auditori-oral.1. Pendekatan Auditori‑verbalPendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri, partisipatif dan kontributif dalam masyarakat inklusif. Falsafah auditori-verbal mendukung hak azazi manusia yang mendasar bahwa anak penyandang semua tingkat ketunarunguan berhak atas kesempatan untuk mengembangkan kemampuan untuk mendengarkan dan menggunakan komunikasi verbal di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Pendekatan auditori‑verbal didasarkan atas prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori‑verbal merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-prinsip auditori‑verbal kepada orang tua yang mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997). Prinsip-prinsip praktek auditori‑verbal itu adalah sebagai berikut:
o Berusaha sedini mungkin mengidentifikasi ketunarunguan pada anak, idealnya di klinik perawatan bayi.
o Memberikan perlakuan medis terbaik dan teknologi amplifikasi bunyi kepada anak tunarungu sedini mungkin.
o Membantu anak memahami makna setiap bunyi yang didengarnya, dan mengajari orang tuanya cara membuat agar setiap bunyi bermakna bagi anaknya sepanjang hari.
o Membantu anak belajar merespon dan menggunakan bunyi sebagaimana yang dilakukan oleh anak yang berpendengaran normal.
o Menggunakan orang tua anak sebagai model utama untuk belajar ujaran dan komunikasi lisan.
o Berusaha membantu anak mengembangkan sistem auditori dalam (inner auditory system) sehingga dia menyadari suaranya sendiri dan akan berusaha mencocokkan apa yang diucapkannnya dengan apa yang didengarnya.
o Memahami bagaimana anak yang berpendengaran normal mengembangkan kesadaran bunyi, pendengaran, bahasa, dan pemahaman, dan menggunakan pengetahuan ini untuk membantu anak tunarungu mempelajari keterampilan baru.
o Mengamati dan mengevaluasi perkembangan anak dalam semua bidang.
o Mengubah program latihan bagi anak bila muncul kebutuhan baru.
o Membantu anak tunarungu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan maupun sosial bersama-sama dengan anak-anak yang berpendengaran normal dengan memberikan dukungan kepadanya di kelas reguler.
Hasil penelitian terhadap sejumlah tamatan program auditori‑verbal di Amerika Serikat dan Kanada (Goldberg & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997) menunjukkan bahwa mayoritas responden terintegrasi ke dalam lingkungan belajar dan lingkungan hidup "reguler". Kebanyakan dari mereka bersekolah di sekolah biasa di dalam lingkungannya, masuk ke lembaga pendidikan pasca sekolah menengah yang tidak dirancang khusus bagi tunarungu, dan terlibat dalam kegiatan-kegiatan masyarakat. Di samping itu, keterampilan membacanya setara atau lebih baik daripada anak-anak berpendengaran normal (Robertson & Flexer, 1993, dalam Goldberg, 1997).Pendekatan Auditori‑OralPendekatan auditori‑oral didasarkan atas premis mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif, merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu. Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997).
Elemen-elemen pendekatan auditori‑oral yang sangat penting untuk menjamin keberhasilannya mencakup:
o Keterlibatan orang tua. Untuk memperoleh bahasa dan ujaran yang efektif menuntut peran aktif orang tua dalam pendidikan bagi anaknya.
o Upaya intervensi dini yang berfokus pada pendidikan bagi orang tua untuk menjadi partner komunikasi yang efektif.
o Upaya-upaya di dalam kelas untuk mendukung keterlibatan anak tunarungu dalam kegiatan kelas.
o Amplifikasi yang tepat. Alat bantu dengar merupakan pilihan utama, tetapi bila tidak efektif, penggunaan cochlear implant merupakan opsi yang memungkinkan.
Mengajari anak mengunakan sisa pendengaran yang masih dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori‑oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah, intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi, dan pemahaman bunyi. Karena tujuan pengembangan keterampilan mendengarkan itu adalah untuk mengembangkan kompetensi bahasa lisan, maka bunyi ujaran (speech sounds) merupakan stimulus utama yang dipergunakan dalam kegiatan latihan mendengarkan itu. Pengajaran dilakukan dalam dua tahapan yang saling melengkapi, yaitu tahapan fonetik (mengembangkan keterampilan menangkap suku-suku kata secara terpisah-pisah) dan tahapan fonologik (mengembangkan keterampilan memahami kata-kata, frase, dan kalimat). Pengajaran bahasa dilaksanakan secara naturalistik dalam kegiatan-kegiatan yang berpusat pada diri anak, tidak dalam setting didaktik. Pada masa prasekolah, pengajaran bagi anak dan pengasuhnya dilakukan secara individual, tetapi pada masa sekolah pengajaran dilaksanakan dalam setting kelas inklusif atau dalam kelas khusus bagi tunarungu di sekolah reguler. Setting pengajaran ini tergantung pada keterampilan sosial, komunikasi dan belajar anak. Keuntungan utama pendekatan auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Geers dan Moog (1989 dalam Stone, 1997) melaporkan bahwa 88% dari 100 siswa tunarungu usia 16 dan 17 tahun yang ditelitinya memiliki kecakapan berbahasa lisan dan memiliki tingkat keterpahaman ujaran yang tinggi. Kemampuan rata-rata membacanya adalah pada tingkatan usia 13 hingga 14 tahun, yang hampir dua kali lipat rata-rata kemampuan baca seluruh populasi anak tunarungu di Amerika Serikat.

Materi diadopsi dari :Handsout – Studikasus Tunarungu, Didi Tarsidi dan Permanarian SomadUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Dokumen Photo


Suasana Rapat Istimewa, sekaligus pemilihan ketua baru DPC PPCI Kota Pontianak.

BPPT Kembangkan Teknologi Informasi untuk Tunanetra

BPPT Kembangkan Teknologi Informasi untuk Tunanetra

Jakarta (ANTARA) - BPPT sedang mengembangkan program komputer bagi tunanetra yang mampu membantu mereka mengakses informasi selayaknya manusia normal.

"Program ini akan selesai tahun ini juga," kata Koordinator Pusat Sumber Daya Opensource Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Oskar Riandi seusai Pembukaan Pelatihan Komputer Bicara untuk Tunanetra di Jakarta, Senin.

Program tersebut, lanjut dia, adalah program Memdengar (Membaca dan Mendengar) berupa pembaca dokumen (dokument reader).

Caranya dokumen seperti buku hingga brosur dipindai (di-scan) dialihkan menjadi suatu teks di komputer menggunakan teknologi Optical Character Recognition (OCR) dan kemudian diterjemahkan dalam bentuk suara dengan teknologi screen reader.

"Ada fungsi tambahan linux dengan lisan untuk konfirmasi di mana komputer selalu mengatakan apa yang sedang dikerjakan si tunanetra, sehingga dia tahu apa yang sedang dilakukannya di layar komputer," kata Oskar.

Menurut dia, apa yang dikembangkan BPPT akan jauh lebih baik dibanding program yang saat ini digunakan oleh para tunanetra dalam mengakses komputer dan internet yakni program JAWS (Job Access With Speech) for Windows, suatu perangkat lunak Screen Reader dari AS.

"Program JAWS ini mahal, sampai 1.200 dollar AS untuk dua unit komputer, sementara program yang kami buat dibangun dengan opensource dan bisa diperoleh gratis," katanya.

Keunggulan dari apa yang dikembangkan BPPT, ujarnya, selain menggunakan bahasa Indonesia, juga menggunakan teknologi penterjemahan dari suara menjadi teks, sehingga tunanetra bisa berbicara melalui mikrofon ke komputer untuk diterjemahkan ke dalam perintah dan teks.

Keakuratannya kini mencapai 93 persen, menurut dia, sudah meningkat dibanding pertama kali mulai dilakukan riset.

Dikatakan Oskar, teknologi bahasa dalam teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang merupakan prioritas nasional itu yakni speech recognition atau pengenal lisan, yang mengubah dari suara menjadi teks.

Sintesa suara yang mengubah teks menjadi suara, dan mesin penterjemah yang menterjemahkan bahasa Indonesia ke berbagai bahasa asing secara lisan maupun tertulis.

Sementara itu, Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), Didik Tarsidi, mengatakan, teknologi terkini telah membuat orang tunanetra menjadi seperti orang yang tidak buta.

"Dengan teknologi, tunanetra sekarang bisa mendapat akses internet dan informasi tak terbatas seperti layaknya orang yang melek," katanya.

Sumber : Antara